img.emoticon { padding: 0; margin: 0; border: 0; }

Pages

Senin, 14 Maret 2011

Why?

Post kali ini tentang hidup gue.

Rada egois juga sih ngepost ga penting gini, cuman kepengen aja, sorry friend, i want to share about my life, if you dont like, dont read this post...

Mengapa?

Disekolah, i have a much friends, bukan sombong, banyak teman iya, tapi yang deket cuma 4.

Gue suka diserang badai galau, dimana gue ngerasa bimbang, ngelantur, gue bukan mau ngomongin itu.

Gue mau omongin tentang disekolah gue.

Gue disekolah katanya gokil + gila, makanya gue dibilang sarap #JEDER! What the? Gue dibilang sarap! Ih padahal emang iya (?)

Katanya gue disebut gokil karena suka ngelawak....

Sekarang masalah galau.

Gue sering yang namanya galau, selalu broken heart...

Gue suka sama orang, tapi dia gasuka sama gue, gimana rasanya?

SELAIN ITU kalau gue suka sama dia pasti dia tau. Gue gimana gue ga tambah malu?

Disela kegalauan gue menemukan arti makna cinta sesungguhnya. Yang tidak selalu mudah dirambat, yang tidak selalu indah seperti mimpi.

As you know, i am not pretty girl! Jadi gue bukan manusia yang mudah mendapat cinta.

Jika ada lubang, gue ingin masuk kedalam... Mengubur rasa yang namanya naksir.

Ahsudahlah

There is nothing to regret.

If repentance came firts then people will not be deterrent. So? There is nothing to regret.

Jumat, 04 Maret 2011

Posting About Japanese

kali ini aku sering memuat tentang mitologi, sampai hal hal berbau jepang....

karena aku termasuk suka dan cinta dengan negara jepang dan kebudayaannya tapi AKU MASIH MENCINTAI NEGARA DAN KEBUDAYAAN NEGARAKU !

ahahaha semua sumber berasal dari Wikipedia bahasa indonesia jadi jangan kira aku menulis sendiri ya~ salam miss kitty XDD

Kamis, 03 Maret 2011

Tanuki

Tanuki, lukisan ukiyo-e karya Tsukioka Yoshitoshi
Tanuki (狸 atau タヌキ?) adalah sebutan untuk binatang anjing rakun dalam bahasa Jepang. Sebutan "Tanuki" digunakan untuk dua subspesies anjing rakun (Nyctereutes procyonoides): N. p. viverrinus (anjing rakun biasa) dan N. p. albus (anjing rakun putih asal Hokkaido).
Tanuki digambarkan dalam cerita rakyat Jepang sebagai makhluk yang nakal, kocak, riang gembira, serta pandai menyamar dan berubah bentuk. Cerita rakyat berjudul Periuk Bunbuku dan Gunung Kachi-kachi menampilkan Tanuki sebagai tokoh utama.
Penggambaran Tanuki dengan skrotum yang sangat besar berasal dari penggunaan kulit Tanuki dalam kerajinan emas untuk melebarkan lembaran emas. Bentuk anatomi yang khas tersebut menjadikan Tanuki populer sebagai lagu anak-anak yang secara eksplisit menyebut bagian tubuh sebelah bawah milik Tanuki.

Cerita rakyat

Lukisan Tanuki menjadi periuk
Walaupun sudah dikenal sejak dulu dan sering muncul dalam cerita rakyat, sebagian orang di Jepang masih tidak bisa membedakan Tanuki (anjing rakun) dengan binatang lain. Tanuki sering disebut Mujina atau Mami yang sebenarnya merupakan nama untuk hewan spesies Meles meles (Eurasian badger). Di desa-desa sekitar wilayah Kanto, penduduk setempat menyebut anjing rakun sebagai Mujina. Di sebagian wilayah Prefektur Tochigi, Tanuki disebut Mujina, dan sebaliknya Mujina (Meles meles) disebut Tanuki.
Penggambaran Tanuki sebagai makhluk yang kocak baru dilakukan di zaman Edo. Tanuki digambarkan berperut gendut, memiliki skrotum yang sangat besar hingga bisa dipakai memukul-mukul perutnya sendiri. Tanuki yang muncul dalam cerita rakyat di zaman Kamakura dan zaman Muromachi justru digambarkan sebagai hantu menakutkan yang kadang-kadang suka makan orang.
Dalam cerita Gunung Kachi-kachi (Kachi-kachi Yama) yang diambil dari kumpulan cerita pendek Otogizōshi di zaman Muromachi, Tanuki digambarkan sebagai makhluk jahat. Tanuki tega membohongi seorang nenek dan membunuhnya untuk dibuat sup. Setelah itu, Tanuki menyamar sebagai si nenek dan berhasil menipu si kakek untuk memakan sup berisi daging si nenek.
Dalam cerita Periuk Bunbuku (Bunbuku Chagama), Tanuki digambarkan ingin membalas budi seorang petani yang telah menolongnya. Agar petani bisa mendapat uang, Tanuki menyamar menjadi periuk untuk merebus air sewaktu membuat teh (chagama). Periuk ini dijual kepada pendeta di sebuah kuil, tapi ketika api mulai dinyalakan di bawah periuk yang dipakai untuk memasak air, kaki dan kepala keluar dari periuk dan Tanuki lari kesakitan.

Patung keramik

Patung keramik Tanuki
Hubungan Tanuki dengan kerajinan emas mengubah Tanuki sebagai lambang pembawa keberuntungan, dan lahir tradisi memasang patung keramik Tanuki di halaman rumah. Di depan rumah minum atau rumah makan yang menghidangkan mi sering dipajang patung keramik Tanuki.
Kota Shigaraki Prefektur Shiga memiliki kerajinan keramik yang disebut Shigaraki-yaki. Di antara produksinya yang terkenal adalah patung keramik berbentuk Tanuki yang memakai topi dan sedang memegang botol sake.


Obake

Obake


Dalam cerita rakyat "Omoitsuzura", obake berleher panjang keluar dari dalam keranjang. Lukisan ukiyo-e karya Tsukioka Yoshitoshi.
Obake (お化け?) atau bakemono (化け物?) adalah sejenis yōkai dalam cerita rakyat Jepang. Arti harfiah dari kata obake adalah sesuatu yang sangat besar atau sesuatu yang bentuknya aneh.
Istilah bakemono sering diterjemahkan dalam kamus sebagai hantu atau setan, namun istilah ini umumnya dipakai untuk makhluk hidup atau makhluk supranatural yang dapat melakukan transformasi untuk sementara. Oleh karena itu, bakemono berbeda dari arwah orang mati.[1] Meskipun demikian, istilah obake juga sinonim dengan yūrei atau hantu dari arwah orang yang telah meninggal dunia.[2]
Bentuk sebenarnya bakemono dapat berupa hewan seperti rubah (kitsune), anjing rakun (tanuki), musang (mujina), kucing yang dapat mengubah bentuk (bakeneko), arwah tumbuh-tumbuhan kodama, atau benda mati yang dipercaya memiliki arwah dalam kepercayaan Shinto dan tradisi animisme lainnya. Obake yang berasal dari perabot rumah tangga disebut tsukumogami.
Bakemono biasanya menyamar sebagai manusia atau muncul sebagai bentuk yang aneh atau menakutkan, seperti halnya seorang hitotsume-kozō, ōnyūdō, atau makhluk berwajah datar tanpa mata, hidung, dan mulut (noppera-bō). Semua penampakan yang menakutkan umumnya dapat disebut bakemono atau obake, tanpa memandang apakah subjek tersebut dapat berubah menjadi bentuk lain atau tidak. Oleh karena itu, bakemono secara garis besar sering disamakan dengan yōkai.[3]

Akita Inu (anjing akita)

Akita Inu


Akita Inu
Akita inu.jpeg
Akita Inu
Negara asal Bendera Jepang Jepang
Ciri-ciri
Jumlah anak 3-12 ekor, rata-rata 7-8 ekor
Masa hidup 11-15 tahun
Akita Inu (秋田犬?, anjing akita) adalah salah satu dari anjing trah Jepang. Nama resmi jenis anjing ini adalah Akita Inu. Di luar tempat asalnya di Prefektur Akita, anjing berukuran besar ini disebut Akita Ken (juga berarti anjing akita). Jenis anjing ini tidak sama dengan American Akita.

Sejarah

Akita Inu termasuk salah satu dari enam anjing trah Jepang. Anjing ini termasuk jenis anjing baru, dan baru diakui sebagai ras anjing sekitar 100 tahun yang lalu.
Akita Inu memiliki kemampuan berburu yang hebat.[1] Karena ukuran dan keberaniannya, Akita Inu menjadi anjing pemburu yang handal, dimana buruannya berupa babi hutan, rusa besar, dan beruang Yezo berukuran besar yang berada di Provinsi Akita.[2]

 Moyang dari anjing petarung

Moyang Akita Inu adalah akita matagi yang dipakai untuk matagi (berburu rusa dan beruang). Pada zaman dulu, anjing berukuran besar tidak ada di Jepang. Akita Matagi adalah anjing pemburu berukuran sedang untuk berburu beruang.
Pada zaman Edo, klan Satake menguasai Provinsi Dewa bagian timur (wilayah Akita). Sebelumnya klan Satake adalah penguasa Provinsi Hitachi namun wilayah kekuasaannya ditukar dengan Provinsi Dewa setelah berpihak ke Pasukan Barat yang kalah dalam Pertempuran Sekigahara. Keshogunan Tokugawa memperlakukan klan Satake sebagai tozama daimyo yang kekuatan militernya sangat dibatasi.
Sekitar tahun 1630, klan Satake menganjurkan pengikutnya mengadakan adu anjing sebagai pelampiasan nafsu berperang. Klan Satake berintikan keluarga Satake Timur yang bermarkas di Istana Kubota. Keluarga klan Satake yang lain adalah Keluarga Barat, Keluarga Utara, dan Keluarga Selatan yang masing-masing berkedudukan di Ōtachi, Kakunodate, dan Yuzawa. Keluarga Barat yang berkedudukan di kawasan Ōtachi dikenal sebagai peternak anjing petarung hasil persilangan anjing matagi dan anjing lokal. Anjing yang mereka hasilkan disebut Ōtachi-ken (Anjing Ōtachi).
Hingga zaman Meiji, tradisi adu anjing di Jepang tidak juga hilang. Peternak terus mengawinkan anjing dari lokal dengan anjing impor berukuran besar untuk menghasilkan anjing petarung. Sekitar tahun 1897, peternak anjing di Prefektur Akita mendatangkan Tosa Inu dari Prefektur Kochi yang dikenal sebagai anjing petarung. Tosa Inu disilangkan dengan anjing impor dari Barat sehingga tubuhnya semakin bertambah besar. Seusai Perang Sino-Jepang Pertama, orang Jepang yang pergi Sakhalin membawa pulang Sakhalin Husky dan Hokkaido Inu.
Di Prefektur Akita, moyang Akita Inu terus disilangkan dengan anjing impor dari Barat, di antaranya diperkirakan dengan Mastiff peliharaan insinyur Jerman di Pertambangan Kosaka. Pada pertengahan zaman Meiji, moyang anjing akita mulai disilangkan dengan Anjing Gembala Jerman dan Great Dane. Tubuh Akita Inu dilahirkan semakin lama semakin besar. Pada waktu itu, telinga tegak dan ekor melengkung yang menjadi ciri khas anjing spitz mulai hilang.
Adu anjing dilarang di Prefektur Akita sejak tahun 1908 karena dianggap merusak masyarakat. Penduduk begitu tenggelam dalam judi adu anjing sehingga pemerintah prefektur melarang adu anjing. Pelarangan adu anjing, sabung ayam, dan adu sapi di seluruh Jepang baru dilakukan Dinas Polisi Kekaisaran Jepang sejak 26 Juli 1916. Setelah adu anjing dilarang, peternak anjing dari Prefektur Akita mengalami masa suram. Anjing impor dari Barat menjadi lebih populer daripada anjing lokal. Berbagai jenis anjing campuran lahir dari persilangan dengan anjing impor dari Barat.

Gerakan pelestarian

Pada zaman Taisho, kalangan terpelajar menganggap perlu untuk melestarikan Akita Inu. Kegiatan pelestarian dipimpin wali kota Ōtachi. Pada waktu itu, gerakan pelestarian tidak dilakukan hanya terhadap anjing lokal asal Akita, melainkan juga terhadap anjing-anjing lokal dari tempat lain yang mulai bercampur dengan anjing impor dari Barat.
Pada 1919, Pemerintah Jepang mengeluarkan Undang-Undang Pelestarian Monumen Alam. Pemimpin gerakan pelestarian anjing Jepang adalah Shōzaburo Watase. Ia pergi ke kota Ōtachi untuk mempelajari kemungkinan anjing Prefektur Akita dijadikan monumen alam. Pada waktu itu, Watase tidak menganggapnya bisa dijadikan monumen alam. Pada tahun 1922, Shōzaburo Watase menerbitkan sebuah makalah tentang asal usul anjing Jepang, khususnya tentang Akita Inu.
Setelah bertambahnya minat terhadap perbaikan jenis anjing ini, Akita Inu mulai diternakkan oleh penggemar. Pada tahun 1927, wali kota Ōtachi mendirikan Perkumpulan Pelestarian Akita Inu. Pada tahun berikutnya, Perkumpulan Pelestarian Anjing Jepang didirikan di Tokyo dengan tujuan melestarikan Akita Inu, Hokkaido Inu, Shiba Inu, Kai Ken, dan Shikoku Ken.
Akita Inu akhirnya ditetapkan sebagai monumen alam Jepang pada tahun 1931. Semuanya ada 9 ekor Akita Inu yang dijadikan monumen alam, dan akita ini menjadi anjing lokal Jepang yang pertama kali dijadikan monumen alam.
Pada tahun 1932, harian Asahi Shimbun memuat berita tentang anjing jenis Akita Inu yang setia menunggu majikannya di Stasiun Ueno, Tokyo. Hachikō tidak tahu bahwa majikannya sudah meninggal dunia, dan terus menanti majikannya yang tidak kunjung pulang.[3] Berkat kisah Hachikō, semakin banyak orang yang mengenal Akita Inu.

 Kesulitan pangan selama perang

Kesulitan pangan di Jepang selama Perang Sino-Jepang hingga akhir Perang Dunia II menyebabkan anjing berukuran besar seperti Akita Inu berada dalam bahaya kepunahan. Jumlah Akita Inu berkurang drastis karena kurang makan dan dibunuh untuk diambil kulitnya. Anjing tidak diberi makan daging, melainkan hanya tepung dan sayuran sehingga sulit bereproduksi. Anak anjing yang lahir akhirnya mati karena kurang makan dan terkena canine distemper. Selain Anjing Gembala Jerman yang dipelihara militer untuk keperluan perang, anjing berukuran besar disita untuk dibunuh. Kulit anjing dipakai untuk keperluan seragam militer. Pecinta anjing berusaha menghindari peraturan dengan dengan mengawinkan anjing-anjing mereka dengan Anjing Gembala Jerman. Seusai Perang Dunia II, jumlah anjing jenis Akita Inu berkurang drastis, dan tersisa dalam tiga jenis berbeda: akita matagi, akita petarung, dan akita gembala.
Usaha pemulihan anjing trah Akita Inu dilakukan dari seekor anjing bernama Kongo-go asal keturunan Provinsi Dewa. Kongo-go memperlihatkan ciri-ciri Mastiff dan Anjing Gembala Jerman. Namun penggemar menyadari ciri-ciri yang dimiliki Kongo-go bukan sebagai ciri anjing trah Jepang yang benar. Oleh karena itu, peternak berusaha menghilangkan galur trah asing. Persilangan dilakukan dengan akita matagi dengan tujuan mengembalikan trah murni. Galur murni dari trah berukuran besar berhasil distabilkan hingga menjadi Akita Inu yang dikenal sekarang.

 Pemerian

Berikut ini adalah standar Akita Inu menurut Federasi Kinologi Internasional.[4]

Ciri-ciri umum

Anjing ini berukuran besar, memiliki keseimbangan tubuh dan proporsi tubuh yang baik, dan bertubuh kekar. Sifatnya tenang, setia, penurut, mudah diajar.
Perbandingan tinggi badan (diukur dari permukaan tanah sampai ke pundak) dan panjang badan (diukur dari pundak hingga titik di pantat) adalah 10 : 11. Anjing betina memiliki tubuh yang lebih panjang.
Betinanya memiliki tinggi sekitar 24 sampai 26 inchi, dan jantan 26 sampai 28 inci.[3]

Kepala, telinga, moncong

Tengkorak kepala seimbang dengan tubuh. Bagian kening lebar, memiliki lipatan yang jelas namun bebas dari kerutan. Bentuk tulang dahi (stop) yang jelas.
Hidung besar dan hitam. Hanya anjing putih yang boleh sedikit kekurangan pigmen, hidung hitam lebih baik. Moncong panjang, kuat, dan lebar, sedikit mengecil ke ujung tapi tidak meruncing. Bagian antara kedua mata lurus. Gigi kuat, bagian dalam gigi atas menyentuh bagian luar gigi bawah (menggunting), dan bibir rapat.
Mata agak sipit, bentuknya hampir segitiga karena bagian sudut luar mata naik ke atas. Kedua mata berjarak agak jauh. Warna mata coklat tua, namun makin gelap makin bagus.
Daun telinga relatif kecil, tebal, berbentuk segitiga dengan ujung yang sedikit melengkung. Kedua telinga berjarak agar jauh. Posisi daun telinga tegak, dan condong ke depan.[3]

Badan

Leher kekar, seimbang dengan kepala, berotot, kencang tanpa lipatan kulit. Punggung lurus dan kuat, pinggang lebar dan berotot. Dada depan mengembang dengan baik, perut langsing.
Bulu ekor lebat dan dibawa di atas punggung. Bila menjuntai ke bawah, ujung ekor mencapai siku belakang. Bentuk ekornya melengkung.[3]
Gaya berlari bagaikan berpegas dan penuh tenaga.

 Bulu dan warna

Bulu bagian luar kasar dan lurus, sementara bulu lapisan dalam halus dan rapat. Bagian pundak dan belakang paha ditutupi bulu yang lebih panjang. Bulu ekor lebih panjang dari bulu badan.
Warna cokelat agak kuning redup, sesame (cokelat agak kuning redup dengan ujung hitam), seperti loreng (brindle), dan putih.[5] [4] Kecuali anjing warna putih, semua warna harus memiliki urajiro (bulu bagian dalam berwarna putih di moncong, pipi, rahang bawah, leher, dada, badan dan ekor, serta bagian dalam paha).
Ukuran tinggi pada pundak 67 cm, sementara betina 61 cm, masing-masing dengan toleransi 3 cm. Akita mengalami pergantian bulu 2 kali dalam setahun.[3]

Karakter dan temperamen

Terhadap anjing atau hewan lainnya, Akita Inu dapat berubah menjadi lebih agresif dan dapat menyerang mereka. Jika ada hewan peliharaan lainnya dirumah, seperti ikan besar, reptil, kucing atau anjing lainnya, maka pemilik harus lebih waspada.[6]
Akita Inu memiliki insting sebagai anjing penjaga dan selalu mencoba untuk melindungi keluarganya dari ancaman ataupun orang asing.[6] Akita Inu merupakan anjing peliharaan yang setia. [6] Akita merupakan anjing yang cerdas dan juga memiliki sifat diskriminatif.[3]

Perawatan

Akita Inu memiliki bulu yang panjang dan tebal, maka ia membutuhkan perhatian yang banyak.[1] Ia harus dimandikan untuk menghindari kerontokan lapisan bulu yang tahan air.[1] Akita Inu berganti bulu pada musim tertentu.[1]
Matanya harus dibersihkan untuk mencegah kotoran.[1] Akita Inu diketahui berganti bulu setiap 2 tahun sekali.[1] Beberapa pemilik memilih untuk tidak mendandani Akita mereka terlalu sering.[1] Bulu Akita Inu tidak perlu digunting ataupun dipangkas.[1]

Latihan

Memiliki pekarangan yang besar dan berpagar merupakan kondisi yang cocok bagi aktivitas akita.[3] Akita merupakan tipe anjing yang kuat, dan dengan mudah dapat menarik kereta barang maupun menghadapai aktivitas yang berat.[3] Tetapi, bagaimanapun juga penting bagi akita yang masih berusia 18 bulan untuk tidak menarik beban yang berat, karena sendi dan tulang mereka masih belum berkembang dengan baik.[3]
Penting juga untuk membiarkan mereka berlatih sendiri.[3] Akita suka melompat, berlari dan bermain saat ia menginginkannya.[3] Mereka juga suka bermain dengan anak-anak, berlarian dan berkeliling.[3]
Akita seperti halnya anjing jenis lain, mereka menyukai berbagai jenis variasi latihan, yang tidak rutin sama setiap harinya.[3] Akita inu juga merupakan perenang yang baik.[3] Hindari akita untuk berenang saat cuaca dingin, karena bulu mereka akan sulit untuk kering saat temperatur bertambah dingin.[3]


Tama

Tama (kucing)


Tama
Nama panggilan Tama Ekichō
(Kepala Stasiun Tama)
Spesies Kucing belang tiga
Jenis kelamin Betina
Lahir 29 April 1999
Kinokawa, Prefektur Wakayama, Jepang
Pekerjaan Maskot
Perusahaan Wakayama Electric Railway
Tugas penting Pemikat pemakai jasa kereta api
Tahun aktif 5 Januari 2007–sekarang
Tinggi sekitar 4,8 kg[1]
Tama (たま?, lahir 29 April 1999) adalah kucing betina belang tiga yang memiliki jabatan khusus sebagai kepala stasiun sekaligus pejabat eksekutif Wakayama Electric Railway di Stasiun Kishi, Kinokawa, Prefektur Wakayama, Jepang. Tugasnya sebagai pemikat agar pengunjung mau datang ke Stasiun Kishi.[2]
Tama mulai diliput media massa setelah dilantik sebagai kepala stasiun pada 5 Januari 2007. Pelantikannya bersamaan dengan diangkatnya dua staf Tama, kucing betina Chibi (ちび?, 12 Mei 2000) dan induk Tama yang bernama Miiko (ミーコ?, 3 Oktober 199820 Juli 2009[3]) sebagai asisten. Ketiga ekor kucing tersebut adalah kucing peliharaan milik kios Koyama di stasiun tempat mereka dijadikan pemikat orang untuk naik kereta api.[4] Ketiga ekor kucing berhak atas pekerjaan seumur hidup dan mendapat gaji tahunan dari perusahaan kereta api berupa makanan kucing jatah 1 tahun.
Setelah dipekerjakan selama 1 tahun, Tama naik pangkat dari kepala seksi menjadi super kepala stasiun pada 5 Januari 2008. Tama kembali diangkat secara resmi oleh Wakayama Electric Railway sebagai pejabat eksekutif mulai 3 Januari 2010. Sejak 20 April 2008, Tama menempati ruang petugas pemeriksa karcis yang sebelumnya kosong. Ruangan Tama dilengkapi kotak pasir kucing di tempat yang tak terlihat pengunjung

Kisah hidup

Masa kecil

Induk Tama yang bernama Miiko dulunya dipelihara di gudang barang-barang kantor (sekarang tempat parkir sepeda) ketika Stasiun Kishi masih milik Nankai Electric Railway. Ia konon lahir di Stasiun Kanrojimae yang berdekatan. Miiko melahirkan 4 anak kucing di Stasiun Kishi, satu ekor belang tiga, satu ekor mati. Dua ekor lainnya dipungut orang. Kucing belang tiga yang tersisa diberi nama Tama, dan pembawaannya sangat tenang. Tama dan Miiko lalu menjadi peliharaan pemilik kios makanan dan minuman di samping stasiun. Chibi dulunya kucing yang dibuang orang di depan stasiun, namun dibesarkan oleh Miiko.[5] Ketiga ekor kucing dipelihara di kandang kucing yang berada antara kios dan gudang. Mereka ada di depan kios selama siang hari. Penduduk setempat dan pengguna jasa stasiun akhirnya mengenal mereka sebagai idol stasiun.

 Jalur Kishigawa yang terus merugi


Loket karcis yang dijadikan "kantor" kepala stasiun.
Pada Agustus 2004, Nankai Electric Railway mengumumkan untuk menutup jalur kereta api lokal Kishigawa karena terus merugi.[6] Jalur tersebut kemudian diambil alih perusahaan transportasi Ryobi Group yang bermarkas di Prefektur Okayama. Ryobi Group mendirikan perusahaan kereta api baru, Wakayama Electric Railway untuk dioperasikan di jalur Kishigawa yang panjangnya hanya 13,4 km sebagai anak perusahaan Okayama Electric Tramway.
Pemerintah kota Kishi membeli Jalur Kereta Api Kishigawa dan bangunan Stasiun Kishi yang sebelumnya tanah milik perusahaan Nankai Railway. Ketiga ekor kucing yang tinggal di kandang di depan stasiun diperintahkan untuk dipindah, "Di atas tanah milik umum, meletakkan kandang kucing membuat masalah."[6] Setelah berakhirnya upacara peresmian mulai beroperasinya Wakayama Railway pada 1 April 2006, pemilik kios memohon kepada Mitsunobu Kojima (direktur Ryobi Group merangkap direktur Wakayama Railway) agar dibolehkan memelihara kucing di dalam stasiun. Kojima yang berkunjung ke Stasiun Kishi, ternyata lebih dulu telah terpikat oleh Tama, "Pertama kali mata saya memandang mata Tama-chan, dalam benak saya sudah terlihat sosok Tama sebagai kepala stasiun."[2] Ia memerintahkan agar kucing-kucing dibolehkan tinggal di stasiun, dan menginginkan Tama dijadikan maneki neko yang memikat orang datang ke stasiun. Pengguna jasa stasiun diketahui sudah lama mengenal Tama dan kucing-kucing lainnya, sehingga akhirnya Tama diangkat sebagai kepala stasiun pada 5 Januari 2007.[7][8] Secara kebetulan, setelah dialihkan ke Wakayama Railway, Stasiun Kishi harus dioperasikan sebagai stasiun kereta api tanpa petugas sejak April 2006. Peristiwa kucing dijadikan kepala stasiun juga merupakan kasus pertama dalam sejarah kereta api swasta Jepang.[9][10]

 Sebagai kepala stasiun


Tama mengenakan kostum "Ksatria Wakayama" (Wakayama de Knight) sewaktu mendapat penghargaan dari Gubernur Prefektur Wakayama sehubungan peringatan dua tahun sebagai kepala stasiun.
Pengangkatan Tama, Miiko, dan Chibi sebagai kepala stasiun dan asisten secara resmi diikuti pemberian atribut resmi. Tama mendapat papan nama berwarna emas untuk digantung di dada dan topi kepala stasiun. Topi dipesan secara khusus, serupa dengan topi yang dipakai pegawai Wakayama Railway, namun berukuran lebih kecil. Di perusahaan hanya Tama yang dibolehkan memakai topi bergaris warna emas. Topi untuk kucing ternyata sulit dibuat karena berukuran terlalu kecil, hingga selesai perlu waktu lebih dari setengah tahun.[11][12] Pada bulan Juli 2008, perusahaan juga memberi jatah topi untuk musim panas untuk Tama.[13] Pada 10 Oktober 2007, papan nama berwarna emas dicuri orang, seorang fotografer binatang lalu memberikan hadiah papan nama pengganti buatan sendiri yang dipakai Tama hingga papan nama berwarna emas kembali diberikan lagi oleh perusahaan.[12]
Sebagai kepala stasiun, jam kerja Tama dari Senin hingga Sabtu (Minggu adalah hari libur), mulai sekitar pukul 09.00 hingga sekitar pukul 17.00 (sepanjang musim panas), dan sekitar pukul 10.00 hingga sekitar pukul 16.00 (sepanjang musim dingin). Ketika stasiun sedang didatangi banyak pengunjung, Tama dimasukkan ke dalam kotak kaca kamar kepala stasiun. Ketika stasiun sedang sepi, Tama naik ke atas meja di depan kios atau di atas gerbang karcis.

 Keberhasilan promosi


Kereta listrik Wakayama Electric Railway tipe 2270 "Tama Desha" di Stasiun Kishi. Kereta api ini dicat dengan tema Tama Kucing Kepala Stasiun.
Pengangkatan Tama menjadi kepala stasiun dijadikan berita oleh program berita televisi dan surat kabar di Jepang. Penggemar kereta api berdatangan dari berbagai tempat di Jepang ke Stasiun Kishi pada hari pengangkatan Tama sebagai kepala stasiun. Tama juga dipakai sebagai maskot paket tur keliling Prefektur Wakayama naik Ichigo Densha dan Omocha Densha. Keduanya adalah sebutan untuk kereta api yang dioperasikan Wakayama Railway.
Sebelum Tama diangkat sebagai kepala stasiun, pengguna jasa Stasiun Kishi hanya sekitar 700 orang per hari. Namun setelah Tama diangkat sebagai kepala stasiun, hingga Januari 2007, total pengguna jasa stasiun meningkat 17%. Sepanjang Minggu Emas 2007, pendapatan dari penjualan karcis Ichigo Densha (sebutan untuk kereta api di jalur Kishigawa) meningkat sebesar 40% dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut hasil penelitian Katsuhiro Miyamoto, dosen pascasarjana ekonomi Universitas Kansai, setahun setelah Tama diangkat sebagai kepala stasiun, Prefektur Wakayama menerima dampak ekonomi tidak langsung (efek limpahan) sebesar 1,1 miliar yen akibat peningkatan jumlah wisatawan.[1] Berita meningkatnya kunjungan wisatawan ke Stasiun Kishi berkat Kepala Stasiun Tama juga diangkat oleh media massa luar negeri, termasuk CNN.[14]

Media

Buku foto

Penerbit Shueisha menerbitkan 3 seri buku foto khusus Tama:
  • Tama no Ekichō Dayori: Ichigo Densha de Ai ni Kite... (Kabar dari Kepala Stasiun Tama: Datanglah Menemuiku Naik Kereta Api Stroberi), 26 September 2007
  • Tama no Sūpā Ekichō Dayori: Yume Ressha ni Ai o Nosete (Kabar dari Kepala Stasiun Super Tama: Kereta Impian Penuh Cinta), 26 September 2008
  • Ekichō Tama: Mikeneko Tama, Densha ni Naru (Kepala Stasiun Tama: Kucing Belang Tiga Tama, Menjadi Kereta), 25 September 2009

DVD

Kegiatan sehari-hari Tama sewaktu "bekerja" direkam ke dalam sebuah DVD Tama wa Sūpā Ekichō: Ichigo no Kaze ni Notte... (Tama adalah Kepala Stasiun Super: Terbanglah bersama Angin Stoberi). Video tersebut mulai diedarkan di seluruh Jepang pada 26 September 2008. Peredaran lebih awal dilakukan Wakayama Railway dan kios Koyama di Stasiun Kishi sejak 20 September 2008. Keuntungan dari penjualan video dipakai untuk merenovasi ruang kepala stasiun.
DVD kedua, Tama to Tama Densha mulai diedarkan 24 Juli 2009, berisi kehidupan sehari-hari Tama, dan promosi Tama Densha (kereta api yang dipenuhi gambar Tama) yang mulai beroperasi sejak 31 Maret 2009.

Film

Dalam film dokumenter La voie du chat yang mengisahkan kucing-kucing di tengah kehidupan manusia, Tama tampil sebagai kucing Jepang yang memiliki pekerjaan. Sutradara Myriam Tonelotto (dosen Universitas Strasbourg) melakukan pengambilan gambar di Stasiun Kishi pada Mei 2008. Judul sementara sewaktu pengambilan gambar adalah Le chat, miroir de l'homme (Kucing Panutan Manusia). Film ini ditayangkan 12 April 2009 oleh Arte, sebuah jaringan televisi Jerman-Perancis. DVD berisi film dokumenter tersebut dirilis pada 1 Desember 2009.

Maneki neko


Maneki neko dengan tangan kanan diangkat

Maneki neko dengan tangan kiri diangkat
Maneki neko (招き猫 kucing mengundang?) adalah pajangan berbentuk kucing dari Jepang yang dibuat dari porselen atau keramik. Sebelah kaki depan (tangan) pajangan ini diangkat seperti sedang memanggil orang.
Pajangan ini dipercaya membawa keberuntungan kepada pemiliknya dan biasa dipajang di toko, restoran dan tempat-tempat usaha. Maneki neko yang mengangkat kaki depan sebelah kanan dipercaya dapat mendatangkan uang, sementara maneki neko yang mengangkat kaki depan sebelah kiri dipercaya mendatangkan pembeli. Maneki neko umumnya tidak dibuat dengan kedua belah kaki depan diangkat karena tidak ingin dikatakan sudah menyerah angkat tangan. Model pajangan ini biasanya adalah kucing belang tiga, kucing Japanese Bobtail dengan buntut pendek seperti buntut kelinci. Maneki neko juga dibuat dalam warna-warna lain seperti kuning emas atau hitam. Kucing yang menjadi model maneki neko konon sedang mencuci muka dengan menggunakan sebelah kaki depan.
Maneki neko merupakan contoh klasik untuk kitsch yang dapat dibuat dalam berbagai warna, aneka model, dan ragam hiasan. Pajangan ini juga dibuat sebagai bentuk berbagai macam keperluan sehari-hari, seperti: gantungan kunci, celengan, hingga pengharum ruangan. Bahan-bahan lain yang tidak umum untuk membuat maneko neko adalah plastik atau kain perca. Dalam bahasa Inggris, maneki neko disebut fortune cat (kucing keberuntungan) atau beckoning cat (kucing memanggil).

Asal usul

Ada beberapa cerita tentang asal-usul maneki neko, namun sulit ditentukan versi yang paling benar.
  • Legenda Gōtoku-ji
Cerita ini berasal dari kuil Gōtoku-ji, Setagaya, Tokyo.
Penguasa Domain Hikone yang bernama Ii Naotaka sedang dalam perjalanan pulang berburu dengan burung elang, dan lewat di depan kuil Gōtoku-ji. Di depan pintu gerbang, ia melihat kucing peliharaan biksu yang seperti memanggilnya untuk masuk ke kuil. Ajakan kucing tersebut diikuti Ii Naotaka yang masuk ke dalam kuil untuk beristirahat. Ketika baru saja ia meluruskan kaki, turun hujan disertai petir. Ii Naotaka sangat gembira karena tidak basah kehujanan. Sebagai rasa terima kasih kepada kucing di kuil, Ii Naotaka menyumbangkan uang untuk pembangunan kembali Gōtoku-ji menjadi sebuah kuil yang megah. Ketika kucing tersebut mati, sebuah makam didirikan oleh biksu untuknya. Beberapa lama kemudian, Aula Manekineko didirikan di lingkungan kuil berikut sebuah patung yang diberi nama Manegineko (招福猫児?). Bentuknya berupa kucing yang sedang mengangkat sebelah kaki depan.
Gōtoku-ji merupakan kuil klan Ii. Di kuil ini terdapat makam Ii Naosuke yang tewas akibat pembunuhan di luar pintu gerbang Sakuradamon, Istana Edo pada tahun 1860.
  • Legenda Jishō-in
Cerita ini berasal dari Jishō-in, sebuah kuil di Shinjuku, Tokyo
Seorang samurai bernama Ōta Dōkan tersesat di jalan setelah hampir kalah dalam Pertempuran Egotagahara (sekitar 1476-1478). Tiba-tiba di hadapannya, muncul seekor kucing yang melambaikan kaki depan, dan mengajaknya untuk beristirahat di Jishō-in. Setelah beristirahat, kekuatan Ōta Dōkan pulih dan menang dalam pertempuran. Sebagai rasa terima kasih, patung Jizōson berbentuk kucing dipersembahkan kepada kucing tersebut. Di kemudian hari, patung berbentuk kucing disebut-sebut sebagai cikal bakal maneki neko.
Menurut kisah lain dari kuil yang sama, seorang pedagang kaya yang ditinggal mati anak tercintanya mempersembahkan patung Jizōson berbentuk kucing.

Tradisi

Maneki neko dianggap sebagai benda pembawa keberuntungan. Orang Jepang banyak yang membelinya pada tahun baru. Maneki Neko sering dijual bersama kumade di kios pasar kaget yang berjualan di luar kuil Shinto. Selain itu, toko pajangan yang menjual maneko neko dalam berbagai ukuran sering dijumpai di kota-kota dengan tradisi dagang yang kuat.
Pinggiran kota Takasaki, Prefektur Gunma dikenal sebagai pusat kerajinan maneki neko dan daruma. Maneki neko asal Takasaki umumnya dibuat dengan teknik hariko (rangka kayu ditempel washi). Selain itu, maneki neko produksi Takasaki juga dibuat dari keramik atau plastik.